KKP
Gelar Pertemuan Untuk Pengembangan Perikanan Non-Konsumsi
19
September 2013
Produk kelautan dan perikanan konsumsi saat ini
masih jauh lebih banyak dimanfaatkan daripada produk non-konsumsi, padahal
potensi produk non konsumsi pun tak kalah menariknya. Karena itu, perlu ada
upaya serius dalam mengembangkannya. Dalam rangka peningkatan kapasitas SDM di
bidang produk kelautan dan perikanan non-konsumsi, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP), dalam hal ini Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kelautan
dan Perikanan (BPSDM KP) dan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB), mengadakan
pertemuan dengan Dewan Ikan Hias Indonesia (DIHI), Rabu (18/9), di kantor pusat
BPSDM KP, Jakarta. Hadir pada pertemuan itu pula stakeholder terkait dari Conservation
International (CI), Coral Triangle Center (CTC), dan
Asosiasi Koral Kerang dan Ikan Hias Indonesia (AKKII).
Kepala BPSDM KP Suseno mengatakan, pertemuan ini
diselenggarakan untuk mensinergikan pengembangan kapasitas pembudidaya produk
kelautan dan perikanan non-konsumsi yang perlu diberdayakan oleh pemerintah,
dalam hal ini KKP dan para stakeholder agar implementasinya dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi masyarakat. Ini merupakan kepedulian KKP terhadap produk
non-konsumsi tersebut, seperti ikan hias, terumbu karang, dan mutiara. Menurut
Suseno, Indonesia dikenal dengan kekayaan ikan hiasnya yang melimpah, karena
70% keanekaragaman ikan hias dunia dapat ditemukan di Indonesia. Menurutnya,
perdagangan ikan hias Indonesia pada tahun 2012 mencapai US $ 58 juta dan total
perdagangan ikan hias dunia saat ini mencapai US $ 5 milyar.
Karena itu, lanjutnya, guna meningkatkan
kapasitas SDM Indonesia di bidang budidaya produk kelautan dan perikanan
non-konsumsi, BPSDM KP menyelenggarakan kegiatan pendidikan, pelatihan, dan
penyuluhan. Pendidikan diberikan secara formal kepada peserta didik Program
Studi Perikanan Budidaya di satuan-satuan pendidikan KKP di berbagai daerah di
Indonesia. Adapun pelatihan diberikan kepada masyarakat pembudidaya melalui
Balai Pendidikan dan Pelatihan Perikanan dan Pusat Pelatihan Mandiri Kelautan
dan Perikanan se-Indonesia. Sementara itu, penyuluhan diberikan oleh para
penyuluh perikanan yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia kepada
masyarakat pembudidaya tersebut melalui bimbingan dan pendampingan. Kegiatan
pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan mendukung program-program unggulan KKP,
seperti revitalisasi tambak berbasis teknologi modern dan Program Pengembangan
Usaha Mina Pedesaan perikanan budidaya. Pendapat yang sama mengenai perlunya
sinergi pemerintah dan stakeholder juga disampaikan oleh Direktur Jenderal
Perikanan Budidaya, Slamet Soebyakto. “Perlu adanya kesatuan visi
dan misi antara pemerintah, asosiasi dan stakeholder ikan hias dalam mendukung
industrialisasi ikan hias dan sekaligus menggalang komitmen untuk menyusun satu
strategi nasional dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai produsen ikan
terkemuka di dunia,” ujarnya.
Slamet menambahkan, salah satu upaya KKP dalam
mengembangkan ikan hias, baik air tawar maupun air laut, diwujudkan melalui
pengembangan kawasan Minapolitan ikan hias pada tahun 2011 di Blitar, Jawa
Timur. Dalam pengembangan ikan hias menuju Industrialisasi perikanan budidaya
berbasis blue economy, KKP senantiasa berupaya membangun dan
menciptakan iklim berusaha yang baik dengan pendekatan penguatan sistem
akuabisnis secara terpadu dari hulu (teknologi produksi, sarana dan prasarana)
hingga hilir (pemasaran), termasuk menciptakan pola-pola kemitraan yang sehat
antara pengusaha/swasta dan masyarakat (pembudidaya ikan, pemasar, hobbies dan
eksportir). Dengan jumlah species ikan hias air tawar sebanyak lebih dari 450
species dari total 1.100 species ikan hias air tawar di dunia dan untuk ikan
hias air laut Indonesia memiliki lebih dari 700 jenis species yang sebagian
besar hanya terdapat di Indonesia. Potensi ini apabila ditangani secara serius
antara pemerintah dan seluruh stakeholders ikan hias Indonesia
maka Indonesia akan mampu menjadi eksportir terbesar di dunia.
Melalui kegiatan promosi dengan kontes dan lomba
ikan hias serta pemberdayaan dan penguatan kelembagaan kelompok pembudidaya
ikan hias diharapkan pembudidaya lokal tertantang meningkatkan kuantitas dan
kualitas produksi ikan hias, sehingga peserta tingkat nasional maupun
international diharapkan dapat memacu pertumbuhan usaha ikan hias baik
teknologi, sisi pemasaran ataupun sisi trading-nya yang mampu
mengusung ikan hias Indonesia menuju go international. Di samping
itu, kegiatan tersebut dapat menjadi wadah untuk membentuk jejaring kerja
dengan menggalang persatuan sesama produsen, pemasar, dan eksportir serta
lembaga terkait yang dapat meningkatkan harga jual dan menggairahkan pasar ikan
hias nasional. Selain ikan hias, menurut Sekretaris Jenderal DIHI, Soeyatno,
terumbu karang pun sangat perlu mendapat perhatian. Terumbu karang di dunia
diperkirakan mencapai 284,300 km2. Terumbu karang dan ekosistem lain yang
terkait, seperti padang lamun, rumput laut dan mangove adalah ekosistem laut
terkaya di dunia. Wilayah Indonesia mempunyai sekitar 18% terumbu karang dunia,
dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia, terdiri dari 2.500 jenis ikan, 590
jenis karang batu, 2.500 jenis Moluska, dan 1.500 jenis udang-udangan. Sebagian
besar terumbu karang dunia (55%) terdapat Indonesia, Pilipina, Australia Utara dan
Kepulauan Pasifik, 30% di Lautan Hindia dan Laut Merah. 14% di Karibia dan 1%
di Atlantik Utara.
Terumbu karang Indonesia mencapai 60.000 km2
luasnya, sebagian besar berada di Indonesia bagian tengah, Sulawesi, Bali dan
Lombok, Papua, Pulau Jawa, Kepulauan Riau dan pantai Barat serta ujung barat
daya Pulau Sumatera. Manfaat Terumbu karang antara lain sebagai sumber
makanan dengan protein tinggi, sumber bahan obat-obatan, sumber bahan bangunan,
sumber penghasilan: berupa hasil tangkapan seperti ikan, udang dan agar-agar;
usaha pariwisata seperti menyelam dan memancing, melindungi pantai dari
hempasan ombak dan arus. Terumbu karang di Indonesia memberikan keuntungan
pendapatan sebesar US$1,6 milyar/tahun. Nilai keseluruhan pelayanan dan sumber
dayanya sendiri diperkirakan mencapai setidaknya US$ 61,9 milyar/tahun. Contoh lain dari produk non-konsumsi adalah mutiara. Para pembudidaya
mutiara ini sudah terhimpun dalam organisasi yang bernama Asosiasi Budidaya
Mutiara Indonesia (Asbumi). Mutiara South Sea Pearls (SSP)
Indonesia memiliki keunikan, berupa warna maupun kilaunya yang mempesona dan
abadi sepanjang masa, sehingga sangat digemari di pasar
internasional. Indonesia merupakan produsen SSP terbesar yang memasok
43% untuk pasar dunia dan bersaing dengan Australia,
Philipina, Myanmar, dan Malaysia. Menanggapi maraknya pemberitaan
mengenai spesies ikan invasif karnivora, khususnya aligator dan piranha, DIHI
mengajak seluruh stakeholder, termasuk Pemerintah Pusat dan Daerah,
melakukan upaya preventif. Sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 17 Tahun 2009, 11 jenis ikan piranha (characidae) masuk dalam 30
spesies ikan yang dilarang masuk Indonesia karena membahayakan kelestarian
sumber daya ikan, lingkungan, dan manusia.
Dengan diselenggarakannya pertemuan ini, Suseno
berharap dapat terciptanya sinergi pengembangan kapasitas pembudidaya produk
kelautan dan perikanan non-konsumsi yang perlu diberdayakan oleh BPSDMKP, DJPB,
DIHI, dan pihak-pihak terkait lainnya agar implementasinya dapat dimanfaatkan
secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat. Senada dengannya, Slamet
berharap, para stakeholder dapat menyumbangkan kontribusi pengalaman dan
profesionalitasnya dalam pengembangan produk tersebut serta terus menerus
melakukan upaya-upaya meningkatkan bisnis melalui kontes, pameran, bursa,
perluasan akses pasar dan juga dapat mengedukasi masyarakat dalam
mengembangkannya secara benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar